Ternyata Kalimantan Barat menyimpan sejarah yang unik. Tak banyak yang tahu bahwa jauh sebelum Republik Indonesia lahir pada tahun 1945, sejak tahun 1777 hingga 1884 sebuah negara bernama Lan Fang yang berbentuk republik sudah berdiri di Kalimantan Barat tepatnya di Kota Mandor, Kabupaten Landak tidak jauh dari Pontianak.
Negara Lan Fang ini didirikan oleh Low Fang Pak (Lou Fang Bo) untuk mengorganisir puluhan ribu imigran china yang datang ke Kalimantan Barat menambang emas dan mencari kehidupan baru. Orang-orang china datang pertama kali ke Kalimantan Barat pada tahun 1740 atas permintaan Opu Daeng Manambon, Raja Panembahan Mempawah yang selanjutnya diikuti oleh Kesultanan Sambas pada tahun 1750. Gelombang besar-besaran imigran china terjadi pada tahun 1764 ketika ditemukan potensi emas yang melimpah di Montrado, Seminis dan Lumar dan wilayah lainnya.
Sebagai sebuah negara, Lan Fang memiliki bendera sendiri, Kitab Undang-undang Hukum, menyelenggarakan sistem perpajakan, mengembangkan sistem pendidikan, pertanian dan pertambangan, bahkan punya ketahanan ekonomi berdikari, lengkap dengan perbankannya !.
Low Fang Pak
Namun, meski sering diklaim sebagai negara republik pertama di Asia Tenggara, Lan Fang sendiri tidak pernah menyebut diri mereka sebagai negara Republik. Adalah Yap-Yoen Siong, menantu (ada yang menyebut sebagai anak tiri) presiden terakhir Lan Fang yang tulisannya diterjemahkan dalam bahasa Belanda pada tahun 1885 oleh J.J. Groot, mengatakan bahwa pemilihan presiden dilakukan secara demokratis melalui pemilihan umum terbuka. Nampaknya cara pemilihan pemimpin seperti inilah yang membuat Lan Fang diterjemahkan sebagai sebuah negara republik. Hingga dihancurkan Belanda pada tahun 1884, selama 107 tahun berdiri Lan Fang telah memiliki 12 Presiden melalui pemilu.
Dari berbagai sumber sejarah, Negara Lan Fang tampaknya lebih dekat pada sebuah ‘Kongsi’. Kongsi adalah sebutan untuk perkumpulan imigran china yang melakukan pertambangan emas di Kalbar. Pada tahun 1770 terdapat 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas. Kongsi-kongsi ini menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun mereka diberi keleluasaan secara terbatas oleh Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri seperti pengangkatan pemimpin dan pengaturan kegiatan pertambangan masing-masing. Sedangkan mengenai hasil tambang emas, disepakati bahwa Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin menyisihkan sebagian hasil tambang emas mereka untuk diserahkan kepada Sultan Sambas bagi penghasilan Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagi hasil dari Kongsi-Kongsi china itu sebanyak 1 kg emas murni setiap bulannya, belum termasuk penerimaan oleh Pangeran-Pangeran penting di Kesultanan Sambas dari Kongsi-kongsi itu.
Kini sebagai sejarah, tak banyak yang tersisa dari Negara Lan Fang. Konon, Raffles telah membawa 30 ton arsip Lan Fang ke Inggris. Belakangan ini sedang diupayakan merestorasi kembali keberadaan Republik Lan Fang. Salah satunya, adalah melalui situs lanfangchronicles.wordpress. com yang sudah membuat pameran tentang Lan Fang di Singapura.
Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi. Mulai dari miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu, hingga membuat pagelaran puisi tentang perang kongsi. Pagelaran tersebut bahkan masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar